Minggu, 22 Agustus 2010

Kampanye Tentang Keperdulian Data

Sebelum kita membahas tentag kampanye keperdulian terhadap data, ada baiknya kita terlebih dahulu mengetahui apa pengertian data itu sendiri. Data adalah catatan atas kumpulan fakta.Dan tanpa kita sadarin, setiap hasil karya kita yang dicatat adalah data.

Nah, sekarang ada baiknya kita mulai membahas tentang kampanye keperdulian terhadap data.
Ada banyak warga masyarakat lain yang punya pengalaman serupa.Asal-muasal penyebab masalah itu adalah lambatnya perkembangan telematika di Indonesia.Telematika kurang-lebih bisa diartikan sebagai gabungan segala hal mengenai telekomunikasi, multimedia, dan informatika.Seperti diketahui, maju-tidaknya telematika sebuah negara bisa diukur dari beberapa indikator, misalnya infrastruktur telekomunikasi, penetrasi sambungan telepon, jumlah pelanggan atau pemakai telepon seluler, angka pemakai internet, dan frekuensi penggunaannya.Dalam soal itu, Indonesia memang tergolong ketinggalan. Infrastruktur telekomunikasi, umpamanya, belum menjangkau seluruh wilayah sehingga total sambungan telepon terpasang (installed line) baru mencapai sekitar 7,5 juta atau kurang dari tiga persen dari populasi penduduk. Padahal, Indonesia sudah mempunyai satelit komunikasi sendiri.Pelanggan internet tercatat kurang dari 600 ribu, dengan jumlah pengguna diperkirakan belum melampaui angka dua juta alias satu persen dari populasi penduduk. Ini pun masih ditambah sulitnya akses ke jaringan gara-gara minimnya bandwidth yang tersedia.Kenyataan itulah yang pekan lalu memicu munculnya apa yang disebut Gerakan Nasional Telematika (Genetika). Ini semacam program kerja yang digagas oleh komunitas telematika Indonesia, yang terdiri atas wakil pemerintah dan BUMN, dunia pendidikan, kalangan industri (swasta), serta praktisi yang punya kepedulian dan sehari-hari bergelut pada bidang telematika.

Gerakan itu punya tujuan besar: meningkatkan perkembangan serta kerja sama antarpelaku telematika. Untuk mencapai tujuan itu, Genetika mematok sejumlah target. Yang pertama, ada keinginan untuk mencapai kemajuan nyata dalam bidang infrastruktur telekomunikasi, misalnya tersedianya bandwidth jaringan infrastruktur yang lebar, menggunakan jalur broadband. Bidang ini dianggap penting karena akan menjadi tulang punggung perkembangan telematika.Lewat Genetika, komunitas juga berharap sumber daya manusia, yakni masyarakat secara luas, mendapat pendidikan yang cukup tentang teknologi sehingga pada gilirannya nanti proses adopsi perkembangan teknologi berjalan mulus.
Dari sisi aplikasi multimedia, Genetika diharapkan mampu memperluas jenis pelayanan sehingga kelak orang tidak hanya mendapat informasi dan berkomunikasi, tapi juga dapat melakukan transaksi bisnis melalui internet. “Maunya, sih, nantinya pembuatan KTP, SIM, atau transaksi bisnis bisa dilakukan lewat dunia maya,” kata J.B. Kristiadi, sekretaris Tim Koordinasi Telematika Nasional (TKTI). Untuk itulah pemerintah sekarang berusaha membuat portal Indonesia yang diisi oleh departemen-departemen.

Dalam waktu dekat, komunitas juga menginginkan industri multimedia Indonesia semakin maju. Sentra-sentra industri perangkat lunak akan didukung sepenuhnya sehingga bukan tidak mungkin suatu saat nanti bisa merebut perhatian Amerika, yang kini tengah tertambat hatinya pada industri software India. Dan itu sudah dimulai, misalnya di Bandung ada Bandung HighTech Valley, di Bali ada Bali Camp, dan di Sumatra Utara rencananya akan dibuat semacam Lembah Silikon seperti yang ada di Amerika. Terakhir, komunitas berharap pemerintah memiliki kebijakan yang kondusif bagi perkembangan telematika, contohnya dengan pembuatan Cyber Law.Adapun langkah konkret paling utama yang akan ditempuh dalam setahun ini adalah menjalankan program yang disebut “Sekolah 2001″, yang dimulai Maret nanti. Program ini dilakukan dengan cara memperkenalkan aplikasi multimedia di sekolah-sekolah menengah. Juga akan terus dilakukan kampanye Genetika melalui seminar dan lokakarya, yang akan digelar sepanjang tahun ini.Seandainya skenario Genetika lancar, kelak orang awam seperti ibu rumah tangga diangankan bisa berbelanja lewat internet. Para petani dapat menggunakan internet untuk melihat data harga cengkeh atau tembakau di dunia, misalnya. “Karena itu, saya optimistis pada masa depan Genetika,” kata pengamat telematika Roy Suryo kepada Agus Slamet dari TEMPO.Namun, sebaliknya, kalangan industri justru lebih bersikap menunggu agenda konkret Genetika. “Teman-teman yang bergerak di bidang telekomunikasi seluler, misalnya, masih akan melihat-lihat dulu pada bagian mana bisa urun rembuk,” ujar Direktur PT Ericsson Indonesia, Ade S.B. Sharif, “Tapi jelas, kalau tujuannya untuk mendidik pasar, masyarakat, kami ikut senang.

Dana 1 Triliyun Dapat Membenahin Sistem Informasi Nasional

Gagasan untuk membangun sebuah Sistem Informasi Nasional sebenarnya sudah mulai ada pada era 1997-an ketika telematika masih menjadi wilayah proyek Departemen Dalam Negeri. Cikal bakal Sistem Informasi back office pemerintahan beberapa diantaranya sudah dirintis, seperti Sistem Informasi Kepegawaian, Sistem Informasi Perlengkapan/inventaris dan Sistem Informasi monografi. Ada beberapa hal yang menyebabkan Sistem Informasi tersebut tidak dapat berlanjut hingga saat ini antara lain :

1. Sentralistis pada propinsi. Sistem Informasi dibuat oleh propinsi tanpa adanya standarisasi antar propinsi sehingga sulit diintegrasikan secara nasional. Kabupaten tidak memperoleh kesempatan untuk mengembangkan atau sekedar menerima dari pemerintah atasnya

2. Sistem Informasi yang single user, sehingga sulit untuk dikerjakan secara kolektif. Pemberdayaan team menjadi sulit dikembangkan. Banyaknya data akan menjadi pekerjaan yang tidak kunjung tuntas dikerjakan oleh sebuah Personal Computer. Sebuah kebijakan yang menumbuhsuburkan ego sektoral

3. Sebagai suatu teknologi yang relatif baru dalam kalangan pemerintahan, telematika serasa dipaksakan untuk diimplementasikan secara top down tanpa memperhatikan kualifikasi personil yang dilibatkan, sehingga berjalan ala kadarnya atau bahkan macet sama sekali.

Kegagalan implementasi Sistem Informasi E-Government pada awal pengembangannya menyebabkan banyak daerah yang menilai proyek telematika hanya sekedar mengikuti tren atau proyek gagah-gagahan saja tanpa menghasilkan sesuatu yang memberi arti bagi pemerintahan. Instruksi sentralistis pusat kepada daerah untuk membentuk institusi daerah dengan nama Kantor Pengolahan Data Elektronik (KPDE) disikapi loyal oleh daerah tanpa memperhatikan siapa-siapa yang layak dipercaya mengembangkan teknologi informasi dalam jajaran pemerintahan. Hal tersebut menyebabkan KPDE sering dianggap sebagai institusi kering, bahkan lembaga pemerintahan “tempat sampah”. Dengan kondisi tersebut tidak heran bila setelah lebih dari sewindu, apa pun nama lembaga pengelolaan data elektronik atau pengelola E-Government kurang mampu memberi banyak arti dalam pemerintahan.

Kini era itu sudah berubah. Pusat tidak lagi punya kuasa besar di daerah. Otonomi memberi kesempatan daerah untuk mengembangkan E-Government-nya tanpa harus “mungguk-mungguk” (baca : membungkuk-bungkukkan badan bak rakyat jelata melihat rajanya) kepada pusat. Sebaliknya, banyak daerah mampu membuktikan bahwa tanpa campur tangan pusat mereka mampu lebih maju, layak untuk membusungkan badan dan memimpin dalam pengembangan E-Government nasional. Membuktikan bahwa daerah mampu lebih maju dibanding Pemerintah pusat. Dan sudah saatnya pusat tidak lagi menganggap pengelola telematika/E-Government daerah sebagai bawahan, namun lebih pantas disejajarkan sebagai partner.

Sebenarnya banyak daerah mencari profile Pemerintahan yang mampu mengkoordinasikan E-Government secara lebih luas. Masih terlalu banyak persoalan dalam pengembangan E-Government, bukan hanya sekedar Sistem Informasi Nasional dan aksi riil justru lebih banyak ditunjukkan oleh daerah melalui komunikasi terbatas antar dua atau beberapa pengelola E-Government daerah.

Kominfo yang memiliki posisi paling strategis lebih banyak berbicara secara makro dan hampir tidak pernah menyentuh sisi teknis yang sebenarnya merupakan ciri khas lembaga Teknologi Informasi. Kebijakan yang dikeluarkan cenderung terlambat.

Serba terlambatnya kebijakan dan strategi pengembangan E-Government nasional menyebabkan pengelola E-Government daerah asyik dengan pengembangan E-Government-nya masing-masing. Namun kondisi ini ternyata justru membuat kesenjangan dalam pengembangan E-Government secara nasional. Hasilnya, kompleksitas integrasi database yang menjadi urat nadi Sistem Informasi Nasional makin menciptakan jurang pemisah antar daerah yang cukup tinggi. Sungguh disayangkan kreatifitas daerah dalam pengembangan Sistem Informasi E-Government justru menyebabkan permasalahan Sistem Informasi Nasional makin kompleks.

Kondisi Sistem Informasi daerah secara nasional serba terlanjur. Banyak daerah membangun Sistem Informasi sesuai kepentingan mereka atau pasrah pada keahlian rekanan yang notabene kurang memahami lika-liku birokrasi pemerintahan dengan berbagai venomena persoalannya. Dari yang sederhana sampai dengan yang sangat kompleks. Tergantung kemampuan analisa pengelola E-Government setempat.

Sebagai sebuah prestasi, kemampuan pengelola E-Government daerah harus diacungi jempol. Mereka mampu membangun sebuah Sistem Informasi yang diantaranya terintegrasi, yang bahkan untuk tingkatan departemen atau Pemerintah pusat pun tidak banyak yang mampu. Tidak hanya back office, front office pun sudah diimplementasikan di beberapa daerah dan berjalan baik.

Lalu, apakah yang akan dilakukan oleh sebuah kebijakan pengembangan Sistem Informasi Nasional? Apakah akan membuat Sistem Informasi yang akan diimplementasikan dengan sebuah tongkat komando ke daerah? Dan mengharapkan daerah akan loyal? Apakah akan membuat komponen-komponen Sistem Informasi yang dapat digunakan dalam pembangunan Sistem Informasi yang berskala nasional?

Dari sisi daerah, bagaimana dengan Sistem Informasi Pemerintah Daerah yang sudah berjalan dan running well? Apakah harus diganti secara serta-merta? Bagaimana pengaruh terhadap database yang sudah diintegrasikan? Haruskah integrasi database yang sudah membuktikan efektifitas dan efisiensi implementasi E-Government dikorbankan oleh Sistem Informasi nasional yang masih sepotong-sepotong? Bagaimana biayanya? Sementara untuk meng-gol-kan sebuah proyek Teknologi Informasi banyak daerah harus ber”mandi-darah” melawan panitia anggaran dan legislatif yang mayoritas kurang memahami apa itu Teknologi Informasi. Sebuah proyek yang kurang populer untuk sebuah kampanye politik.

Secara nyata kita melihat bagaimana Pemerintah pusat mengalokasikan Milyard-an rupiah untuk membangun sebuah Sistem Informasi dan tidak jarang mengarahkan beberapa daerah untuk menjadi pilot project. Beberapa kegagalan implementasi pilot project tidak jarang ditimpakan kesalahannya kepada daerah dengan berbagai alasan seperti ketidakbecusan personil daerah untuk menerima transformasi Teknologi Informasi, ketiadaan dukungan dana pendamping daerah, dan lain-lain. Lalu, seperti apakah bentuk Sistem Informasi Nasional itu?

Namun, bagaimana pun juga harus ada keberanian untuk mengambil langkah strategis guna membangun sebuah E-Government Nasional karena kita adalah NKRI. Harus ada keinginan untuk memberi dan menerima. Posisi strategis berada di Pusat, Kominfo tentunya. Hanya saja perlu dibuat sebuah action plan yang jelas. Batasan pengertian antara komunikasi dan informasi ala Departemen penerangan dan telematika yang memang secara background ilmiah berbeda harus ditegaskan. Kominfo harus berani berbicara teknis dan kongkrit, bukan sibuk dengan konseptual dan wacana, apalagi tidak melibatkan daerah dalam penyusunan kebijakan atau strategi nasional, sehingga pusat dan daerah tidak sehati meski sebidang pekerjaan.

Upaya riil yang dapat ditempuh antara lain diawali dengan menyusun daftar database yang dibutuhkan dalam skala nasional dan daerah. Kemudian dipilih database yang paling memungkinkan dan menjadi basic dari database E-Government. Selanjutnya disusun draft format standar database & aplikasi E-Government yang mencakup design, struktur database, struktur coding dan sebagainya. Bahkan bila perlu jenis dan penamaan database serta field-field-nya distandarkan, sehingga membantu daerah dalam membangun sebuah Sistem Informasi E-Government. Juga bukan hal yang tabu untuk menetapkan standar waktu pembuatan sebuah aplikasi, agar kemerdekaan melakukan mark up proyek Sistem Informasi E-Government dapat mulai ditekan.

Upaya ini memang sebuah pekerjaan besar yang tidak mungkin dilakukan oleh pusat sendirian. Karena itu peran daerah sebenarnya lebih diutamakan, sebab tanpa suplay database dari daerah, pusat tidak akan memiliki data nasional yang up to date. Terutama daerah harus mengorbankan Sistem Informasi yang telah dibangunnya untuk dikonversikan ke Sistem Informasi Nasional. Untuk membantu daerah agar tidak kacau, perlu dipertimbangkan untuk membangun sebuah sistem konversi database yang didukung oleh team nasional yang handal.

Database exchange menjadi pekerjaan lanjutan setelah beberapa tahap implementasi Sistem Informasi Nasional menunjukkan hasil. Pertimbangan ketersediaan dan kemampuan membangun infrastruktur menjadi pertimbangan yang seharusnya dipecahkan secara nasional. Opsi online – offline database exchange harus ditetapkan bila disandarkan pada kemampuan daerah dalam membiaya E-Government-nya. Karena offline menjadi salah satu opsi, maka harus ditetapkan format file yang mampu diakomodir pusat. Pembentukan kelompok kerja-kelompok kerja menjadi solusi efektif.

Jadi, mungkinkah Sistem Informasi Nasional diwujudkan? Tentu saja mungkin, sejauh Sistem Informasi Nasional ditetapkan sebagai proyek nasional, bukan proyek pusat. Perlu dipahami bahwa dalam beberapa daerah dan dalam beberapa segi teknis, daerah lebih unggul dan lebih paham pekerjaannya daripada pusat. Harus diakui bahwa implementator sesungguhnya dari E-Government adalah daerah yang harus mengelola berbagai Sistem Informasi turunan departemental. Sudah selayaknya daerah menjadi partner pusat.

Potensi dan kemampuan daerah dalam implementasi E-Government masih terpendam dan menunggu untuk dimobilisasi dan diberdayakan secara nasional. Pusat selayaknya tergerak untuk mengambil posisi koordinator, atau daerah akan bergerak sendiri membangun Sistem Informasi Nasional dengan proyek yang dibiayai secara urunan. Urunan Project ? Mengapa tidak? Sistem Informasi E-Government Open Source? Bukan hal tabu yang harus dipilih. Terutama dalam kondisi keaungan negara yang relatif tidak stabil ini, sementara Teknologi Informasi dalam jajaran pemerintahan bukan merupakan prioritas penting dalam mewujudkan good governance dan pelayanan umum yang terbaik.

Keberadaan Google Earth

Keberadaan Google Earth memang bisa saja dimanfaatkan secara berbeda untuk orang dan kalangan tertentu, tak terkecuali bagi yang punya niat jahat. Di Inggris, layanan dari Google itu dikabarkan digunakan juga oleh untuk menandai bangunan-bangunan yang jadi sasaran empuknya. Bagaimana ceritanya Google Earth ini dimanfaatkan pencuri? Ternyata ia memanfaatkan foto-foto satelit yang terdapat di peta layanan populer ini untuk menandai beberapa bangunan yang akan ia sikat atapnya. Atap? ya benar, ia menggondol lembaran-lembaran timah dari atap-atap bangunan-bangunan seperti museum, gereja, hingga sekolah-sekolah. Tentu saja kerugian yang diderita cukup lumayan. Sebuah museum yang menjadi salah satu korbannya misalnya, telah kehilangan lembaran senilai 10.000 Euro dari atap masing-masing bangunannya.

Dilansir oleh Telegraph, 16 Maret 2009, seorang pencuri menandai target-target tersebut cukup dengan duduk di rumah, membuka Google Earth dan melakukan beberapa ‘click‘ saja. Ia bisa melihat mana yang bisa menjadi target melalui warna yang terlihat di peta, yaitu warnanya lebih gelap dari ukuran normal. Setelah aksi pencurian dilakukan, ia lantas menjual lembaran tersebut pada penadah. Uang senilai 100.000 Euro pun berhasil ia kantongi, sebelum akhirnya ia tertangkap polisi dan harus meringkuk dibalik terali besi yang ia diami sekarang.

Ada lagi yang menghubungkan Google Earth dengan kegiatan terorisme. Sehingga perusahaan ini bakal terkena peraturan yang ‘memaksa’ mereka untuk mencegah aksi terorisme. Hal ini terkait dengan layanan peta online yang disediakan Google. Sebuah peraturan sedang digodok Anggota Legislatif California Amerika Serikat untuk ‘memaksa’ para penyedia layanan peta online untuk mencegah aksi terorisme. Tepatnya, Google diminta mengaburkan (blur) gambar-gambar pada peta mereka yang menampilkan target terorisme. Ini termasuk gedung sekolah, gedung pemerintahan dan tempat peribadatan. Google Maps, Google Earth dan bahkan Microsoft Virtual Earth juga konon dapat digunakan para teroris dalam merancang serangannya. Bahkan ada spekulasi bahwa teknologi peta online telah digunakan dalam serangan di Irak dan Israel. Dilansir oleh NYTimes, 4 Maret 2009, meski belum ada peraturan ini beberapa penyedia peta online telah secara sukarela mengaburkan gambar lokasi tertentu. Google, Microsoft dan beberapa penyedia gambar bagi kedua perusahaan itu dikabarkan telah mengaburkan lokasi seperti Gedung Putih.

Lain lagi berita yang satu ini. Pemakai internet sempat heboh ketika sebuah gambar di Google Earth tampak seperti sebuah bukti peninggalan kota legendaris Atlantis. Ditayangkan oleh Telegraph, 20 Februari 2009, gambar itu menampakkan jejak yang mirip bangunan jalan di dasar laut sehingga dikatakan sebagai salah satu tanda keberadaan Atlantis. Jejak tersebut ada di sekitar wilayah laut di benua Afrika.

Menurut seorang pakar Atlantis yang dikutip Daily Telegraph, lokasi jejak itu ada di wilayah yang kemungkinan memang pernah jadi wilayah Atlantis dahulu kala. Meski demikian, Google sendiri langsung membantah adanya temuan jejak kota Atlantis yang menghebohkan ini. Google menjelaskan bahwa gambar tersebut muncul sebagai akibat proses pengumpulan data di Google Earth. “Memang benar banyak hal menakjubkan ditemukan di Google Earth. Namun dalam kasus ini, apa yang dilihat oleh user hanyalah sebuah proses pengumpulan data. Garis-garis yang ada merefleksikan garis edar kapal ketika sedang mengumpulkan data dengan sonar,” kata Google. Para pakar sejarah banyak yang meragukan apakah Atlantis memang benar-benar pernah ada. Namun hal itu tidak menghentikan usaha para pemburu jejak Atlantis sampai kini.

Nah, kalau menyimak berita/kejadian terkait Google Earth atau layanan sejenisnya, tentu kita berfikir, apalah Google Earth, hanya sekadar layanan peta dan media, jadi hanya sebuah perangkat yang penggunaannya sebenarnya tergantung manusianya juga. Seeperti pisau, mau digunakan untuk membunuh manusia lain atau memotong sayur mayur, itu khan sudah ciri khas suatu penemuan teknologi, pasti bermata ganda. Bisa digunakan secara positif atau negatif. Nah, anehnya inisiatif “pelarangan” Google Earth untuk menampilkan gambar/peta apa adanya kok malah dari Amerika Serikat, aneh betul? Bukankah mereka selama ini mau mengedepankan globalisasi, kebebasan informasi, keterbukaan dan networking. Apa nggak kontradiktif dengan inisiatif pelarangan ini? Apakah ini wujud ketakutan AS atas posisi dan lokasinya yang sangat mungkin menjadi target/ancaman banyak pihak karena memang selama ini kebijakannya yang nggak humanis bagi bangsa/negara lain? Sehingga teknologi yang lahirnya dari sana pun sekarang mau “disensor’ alias mau di-blur-kan demi preventif keamanan? Oala, megapa takut? Kalau relasi internasional yang dipenuhi kesetaraan dan berbasis kemanusiaan betul-betul menjadi kebijakan AS pasti nggak sampailah ada yang memanfaatkan Google Earth untuk begituan … Memahami dan memanfaatkan teknologi semacam layanan Google Earth harus bijaklah, nggak boleh hanya lihat negatifnya saja. Semoga pemerintah Indonesia juga memahami ini. Positifnya, coba cermati berita tentang “penemuan Atlantis” itu …. meski belum bisa diyakini, tetapi dengan mengeksplorasi GE secara mendalam dan terus menerus siapa tahu nantinya memang betul-betul ditemukan hal-hal baru, eksklusif dan ilmiah. Banyak pakar juga kok yang memanfaatkan GE secara baik dan benar, buka hanya pencuri atap itu saja …

Tentang Sistem Informasi Nasional

Sistem Informasi merupakan suatu kumpulan dari komponen-komponen dalam perusahaan atau organisasi yang berhubungan dengan proses penciptaan dan pengaliran informasi.

Sistem Informasi yang fleksibel dan bisa beradaptasi merupakan kekuatan utama bagi inovasi bisnis maupun organisasional. Sementara itu sistem yang kaku justru berpotensi menjadi penghalang kemajuan.

Dalam rangka pengelolaan negara, pengambilan keputusan secara tepat sangat dibutuhkan untuk memberikan kepastian langkah dalam menjalankan roda pemerintahan. Untuk mencapai suatu keputusan yang tepat dibutuhkan informasi yang tepat pula, selain itu informasi yang disajikan juga harus memiliki tingkat kehandalan, kecepatan dan keakuratan yang tinggi. Dengan perkembangan situasi yang saat ini tengah dihadapi oleh pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah maka ketepatan dalam pengambilan keputusan akan menjadi hal yang sangat strategis guna menghadapi setiap tantangan yang dihadapi dalam rangka pengelolaan negara. Untuk itu dibutuhkan layanan informasi pemerintahan yang dapat dengan secara cepat, tepat, akurat, aman dan handal memberikan setiap informasi yang dibutuhkan dalam rangka pengambilan keputusan.

Setiap fungsi manajemen dalam pemerintahan menyangkut perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pelaksanaan dan pengendalian membutuhkan informasi yang sesuai dengan fungsi yang diemban oleh setiap instansi maupun lembaga pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah.

Sistem informasi manajemen pemerintahan yang baik dan handal haruslah merupakan suatu sistem informasi yang terintegrasi dari semua bidang pemerintahan dan merupakan hasil analisa yang bersifat ikhtisaran dari data-data yang berasal dari sumber yang terpadu.

Seiring dengan perkembangan teknologi di bidang sistem informasi, penyajian informasi dibidang pemerintahan pun telah dapat dilakukan secara elektronis. Saat ini telah beragam aplikasi diterapkan guna mengolah setiap data yang berkaitan dengan masalah pemerintahan sehingga menjadi informasi yang dapat dijadikan sebagai bahan pengambilan keputusan. Penerapan aplikasi dilakukan pada tingkat pusat dan daerah dengan beragam bidang dan wewenang.

Namun pengembangan aplikasi dibidang pemerintahan dilakukan secara sporadis, hal ini membawa akibat terbentuknya sistem-sistem yang berdiri secara sendiri-sendiri. telah membentuk suatu kepulauan sistem informasi yang terpisah-pisah dan berdiri sendiri. Dimana masing-masing pulau sistem memiliki struktur data, bisnis proses dan teknologi yang berbeda diantara satu dengan lainnya. Hal ini membawa dampak tidak terintegrasinya sistem informasi pemerintahan dan mengakibatkan terjadinya duplikasi dan redudansi data. Dimana akan membawa akibat menjadi tidak efektif dan efisiennya sistem informasi yang dimiliki oleh pemerintah dan berkurangnya efektifitas informasi yang dihasilkan juga tentunya akan mengurangi manfaat yang dibutuhkan dalam rangka pengambilan keputusan.

Dengan terbentuknya konfigurasi sistem informasi yang tidak berada dalam satu konteks sistem informasi terintegrasi mengakibatkan terputusnya mata rantai pengelolaan data dan informasi dalam arus informasi pemerintahan sehingga mengakibatkan informasi yang dihasilkan tidak sebagaimana yang diharapkan.

Suatu fenomena yang saat ini tengah berkembang adalah pengembangan konsep e-Government dan e-Business, fenomena ini telah mendorong beberapa instansi dan lembaga baik ditingkat pusat maupun daerah untuk mengembangkan sistem informasi mereka sehingga dapat diimplementasikan dalam konsep e-Government. Berbicara tentang e-Government, bukan sekedar hanya menambah huruf “e” di depan kata government. e-Government tidak sama dengan komputerisasi, tidak identik dengan pembelian software yang banyak, juga tidak dapat diukur dengan bayaknya jumlah dana yang dianggarkan untuk infrastruktur dan implementasinya. Hal itu timbul akibat tidak adanya suatu konsep yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan e-Government.

Kesemua permasalahan tersebut terjadi sebagai akibat belum adanya suatu acuan pengembangan (guidelines) yang bersifat komprehensif dan mencakup integrasi serta interaksi seluruh sistem yang dibutuhkan oleh pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah. Acuan pengembangan tersebut dibutuhkan oleh seluruh instansi maupun lembaga pemerintah ditingkat pusat dan daerah untuk dapat membangun rancang bangun cetak biru sistem informasi yang dapat berinteraksi dengan instansi maupun lembaga lain yang terkait dengan struktur data yang berada dalam kewenangan instansi yang bersangkutan.

Kementerian Komunikasi dan Informasi diharapkan mampu untuk menjadi motivator, inisiator dan koordinator dalam rangka pengembangan konsep Sistem Informasi Nasional (SISFONAS). Konsep tersebut akan menjadi acuan pengembangan utama yang mendasari setiap rancang bangun sistem informasi yang ada pada instansi dan lembaga pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Disamping itu Kementerian Komunikasi dan Informasi juga memiliki fungsi sebagai pintu gerbang informasi nasional dalam rangka tugas utamanya sebagai Country Information Office (CIO), untuk mencapai keberhasilan sebagaimana yang diharapkan sebagai CIO pemerintah, integrasi sistem informasi yang bersifat nasional menjadi hal yang mutlak diperlukan.

Konsep pengembangan Sistem Informasi Nasional tidak saja menyangkut infrastruktur jaringan sebagai sarana komunikasi data dan aksesibilitas informasi tetapi juga menyangkut infostruktur (content) yang menyangkut struktur data dan proses bisnis sistem informasi sebagai landasan bagi aplikasi sistem informasi pemerintah. Permasalahan jaringan Infrastruktur yang dihadapi tidak semata-mata menyangkut masalah teknis fisik semata, tetapi juga mencakup masalah kepemimpinan, sumberdaya manusia, regulasi dan faktor-faktor prosedural seperti keamanan, kewenangan pengelolaan data (propietary) dan cetak biru arsitektur sistem yang belum dimiliki oleh setiap instansi maupun lembaga pemerintahan.