Minggu, 22 Agustus 2010

Keberadaan Google Earth

Keberadaan Google Earth memang bisa saja dimanfaatkan secara berbeda untuk orang dan kalangan tertentu, tak terkecuali bagi yang punya niat jahat. Di Inggris, layanan dari Google itu dikabarkan digunakan juga oleh untuk menandai bangunan-bangunan yang jadi sasaran empuknya. Bagaimana ceritanya Google Earth ini dimanfaatkan pencuri? Ternyata ia memanfaatkan foto-foto satelit yang terdapat di peta layanan populer ini untuk menandai beberapa bangunan yang akan ia sikat atapnya. Atap? ya benar, ia menggondol lembaran-lembaran timah dari atap-atap bangunan-bangunan seperti museum, gereja, hingga sekolah-sekolah. Tentu saja kerugian yang diderita cukup lumayan. Sebuah museum yang menjadi salah satu korbannya misalnya, telah kehilangan lembaran senilai 10.000 Euro dari atap masing-masing bangunannya.

Dilansir oleh Telegraph, 16 Maret 2009, seorang pencuri menandai target-target tersebut cukup dengan duduk di rumah, membuka Google Earth dan melakukan beberapa ‘click‘ saja. Ia bisa melihat mana yang bisa menjadi target melalui warna yang terlihat di peta, yaitu warnanya lebih gelap dari ukuran normal. Setelah aksi pencurian dilakukan, ia lantas menjual lembaran tersebut pada penadah. Uang senilai 100.000 Euro pun berhasil ia kantongi, sebelum akhirnya ia tertangkap polisi dan harus meringkuk dibalik terali besi yang ia diami sekarang.

Ada lagi yang menghubungkan Google Earth dengan kegiatan terorisme. Sehingga perusahaan ini bakal terkena peraturan yang ‘memaksa’ mereka untuk mencegah aksi terorisme. Hal ini terkait dengan layanan peta online yang disediakan Google. Sebuah peraturan sedang digodok Anggota Legislatif California Amerika Serikat untuk ‘memaksa’ para penyedia layanan peta online untuk mencegah aksi terorisme. Tepatnya, Google diminta mengaburkan (blur) gambar-gambar pada peta mereka yang menampilkan target terorisme. Ini termasuk gedung sekolah, gedung pemerintahan dan tempat peribadatan. Google Maps, Google Earth dan bahkan Microsoft Virtual Earth juga konon dapat digunakan para teroris dalam merancang serangannya. Bahkan ada spekulasi bahwa teknologi peta online telah digunakan dalam serangan di Irak dan Israel. Dilansir oleh NYTimes, 4 Maret 2009, meski belum ada peraturan ini beberapa penyedia peta online telah secara sukarela mengaburkan gambar lokasi tertentu. Google, Microsoft dan beberapa penyedia gambar bagi kedua perusahaan itu dikabarkan telah mengaburkan lokasi seperti Gedung Putih.

Lain lagi berita yang satu ini. Pemakai internet sempat heboh ketika sebuah gambar di Google Earth tampak seperti sebuah bukti peninggalan kota legendaris Atlantis. Ditayangkan oleh Telegraph, 20 Februari 2009, gambar itu menampakkan jejak yang mirip bangunan jalan di dasar laut sehingga dikatakan sebagai salah satu tanda keberadaan Atlantis. Jejak tersebut ada di sekitar wilayah laut di benua Afrika.

Menurut seorang pakar Atlantis yang dikutip Daily Telegraph, lokasi jejak itu ada di wilayah yang kemungkinan memang pernah jadi wilayah Atlantis dahulu kala. Meski demikian, Google sendiri langsung membantah adanya temuan jejak kota Atlantis yang menghebohkan ini. Google menjelaskan bahwa gambar tersebut muncul sebagai akibat proses pengumpulan data di Google Earth. “Memang benar banyak hal menakjubkan ditemukan di Google Earth. Namun dalam kasus ini, apa yang dilihat oleh user hanyalah sebuah proses pengumpulan data. Garis-garis yang ada merefleksikan garis edar kapal ketika sedang mengumpulkan data dengan sonar,” kata Google. Para pakar sejarah banyak yang meragukan apakah Atlantis memang benar-benar pernah ada. Namun hal itu tidak menghentikan usaha para pemburu jejak Atlantis sampai kini.

Nah, kalau menyimak berita/kejadian terkait Google Earth atau layanan sejenisnya, tentu kita berfikir, apalah Google Earth, hanya sekadar layanan peta dan media, jadi hanya sebuah perangkat yang penggunaannya sebenarnya tergantung manusianya juga. Seeperti pisau, mau digunakan untuk membunuh manusia lain atau memotong sayur mayur, itu khan sudah ciri khas suatu penemuan teknologi, pasti bermata ganda. Bisa digunakan secara positif atau negatif. Nah, anehnya inisiatif “pelarangan” Google Earth untuk menampilkan gambar/peta apa adanya kok malah dari Amerika Serikat, aneh betul? Bukankah mereka selama ini mau mengedepankan globalisasi, kebebasan informasi, keterbukaan dan networking. Apa nggak kontradiktif dengan inisiatif pelarangan ini? Apakah ini wujud ketakutan AS atas posisi dan lokasinya yang sangat mungkin menjadi target/ancaman banyak pihak karena memang selama ini kebijakannya yang nggak humanis bagi bangsa/negara lain? Sehingga teknologi yang lahirnya dari sana pun sekarang mau “disensor’ alias mau di-blur-kan demi preventif keamanan? Oala, megapa takut? Kalau relasi internasional yang dipenuhi kesetaraan dan berbasis kemanusiaan betul-betul menjadi kebijakan AS pasti nggak sampailah ada yang memanfaatkan Google Earth untuk begituan … Memahami dan memanfaatkan teknologi semacam layanan Google Earth harus bijaklah, nggak boleh hanya lihat negatifnya saja. Semoga pemerintah Indonesia juga memahami ini. Positifnya, coba cermati berita tentang “penemuan Atlantis” itu …. meski belum bisa diyakini, tetapi dengan mengeksplorasi GE secara mendalam dan terus menerus siapa tahu nantinya memang betul-betul ditemukan hal-hal baru, eksklusif dan ilmiah. Banyak pakar juga kok yang memanfaatkan GE secara baik dan benar, buka hanya pencuri atap itu saja …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar